Pengertian Sanadz. BAGIAN 1 (Satu)

SANADZ ADALAH MATA RANTAI BAGIAN 1 (Satu)

Sanadz adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl).Mata rantai ini terus bersambungsatu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritassanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikanmemiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullahdari berbagai usaha luar yang hendak merusaknyaadalah karena keberadaansanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakanbahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullahakan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnyasanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ
(رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)

Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).

Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarakberkata:

الإسْنَادُمِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُلَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Sanadz adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan.

Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambunghingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakanbahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaansanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena didasarkankepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.

Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan penyebutanfisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembangdi kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah”(bendera),“al-Hizâm”(sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.

Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumarimengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakanbahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadahan-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertianilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].

Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambunghingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmahas-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandungdi balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususantersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir.Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususantersendiriyang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.

Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka.
(Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah).

Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang berkembangdi kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau merumuskanajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf tersebut.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullahdengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinyaadalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambunghingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkandari Rasulullah. Lengkapnyasanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi,dari Imam Ma’ruf al-Karkhi,dari Imam Dawud ath-Tha’i,dari Imam Habib al-‘Ajami,dari Imam al-Hasan al-Bashri,dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:

RosulullahSAW
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
Imam al-Hasan al-Bashri
Imam Habib al-‘Ajami
Imam Dawud ath-Tha’i
Imam Ma’ruf al-Karkhi
Imam as-Sirri as-Saqthi
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Ini adalah sanadz tasawwuf yang telah disepakatikebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Selain sanadz tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuatkebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim,dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:

RosulullahSAW
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
Imam al-Husain (Syahid Karbala)
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ja’far ash-Shadiq
Imam Musa al-Kadlim
Imam ‘Ali ar-Ridlo
Imam Ma’ruf al-Karkhi
Imam as-Sirri as-Saqthi
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Sanadz yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanadz ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanadz kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanadz pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawwuf biasanya mempermasalahkan sanadz pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar”tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkankeraguan tentang kebenaran sanadz tasawwuf.
Namun tentang sanadz yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawwuf.

Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkanadanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkanhal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkansanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.


Oleh Thoriqoh Syadziliyah
Powered by Blogger.